Ke-sayyid-an, Berkah atau Beban?

little_bud_of_love.jpg

Sejak lama saya berencana untuk membahas masalah yang super sensitif ini. Namun keterbatasan kemampuan terutama dalam forum umum, selalu mengurungkannya. Namun niat itu kali ini sudah tidak terbendung lagi karena beberapa faktor dan peristiwa, meski ditulis tanpa persiapan (bahkan mungkin banyak ditemukan salah ketik), dan tidak didukung dengan sumber-sumber yang memadai. Alasan utama keraguan saya untuk menulisnya ialah bahwa tulisan ini hanya mengulas fenomena yang sangat khas dan tidak umum.

Saya merasa terpanggil untuk membuka masalah ini karena beban psikologis yang terus menghimpit dada saya dan orang-orang yang senasib (baca: yang kejatuhan predikat ‘sayyid’) dengan saya.

Tanpa berpretensi melakukan justifikasi, apologi dan pembelaan atau memojokkan salah satu pihak, izinkan saya, Muhsin Labib (nama ini sejak di Yapi tidak pernah bersanding dengan marga dan pasti tidak diawali dengan kata sayyid, habib, syarif dan atribut-atribut sejenisnya sebagaimana di Iran) memberikan sebuah analisis sederhana.

Kata ‘sayyid’ adalah bentuk kata kerja (ism fa’il) yang berasal dari kata baku (mashdar) ‘siyadah’ atau kata kerja lampau ‘sada’ (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin’.

Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ‘sayyid’. Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata pengharagaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat. Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani apalagi minta disanjung. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.

Apabila peran dan kontribusi nir-laba ini tidak lagi diberikannya, maka seorang alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan ‘sang pemimpin’ (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang alawi tidak menyandang predikat ‘sayyid’.

Ke-alawi-an (saya lebih suka menggunakan kata ini ketimbang ‘sayyid’) dapat pula dilihat dari dua perspektif, yaitu ke-alawi-an biologis, dan ke-alawi-an ideologis. Ke-alawi-an jenis pertama dan kedua bisa terhimpun dalam satu sosok, seperti Imam Khomeini dan Hasan nasrullah, namun bisa juga terpisah, sehingga tidak semua alawi biologis menyandang ke-alawi-an ideologis, begitu pula sebaliknya. Salman Farisi, sahabat yang berasal dari ras non Arab, telah diangkat oleh sebagai ‘alawi ideologis’ dengan sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami, Ahlul-Bait’. Hanya saja, alawi ideologis (non biologis) tidak bisa diperalkaukan sama dengan alawi bilogis dalam bidang fikih. Sebaliknya ‘sayyid’ yang membenci mazhab Ahlubait dan menghahalkan darah para penganutnya adalah ‘Kan’an’ (miniatur dari putra Nabi Nuh as).

Dengan persepsi yang luas ini, semestinya pendekotomian dan pengangakatan isu-isu sensitif seputar kesayyidan dan ke-alawi-an tidak perlu mendominasi ruang-ruang diskusi dan membuat kita lupa akan agenda-agenda serta proyeksi dakwah ke depan.

Pesoalan ini menjadi memalukan dan memilukan mana kala tendensi negatif menjadi salah satu faktor di balik pewacanaannya. Isu kesayyidan telah memakan banyak korban dan menggerus militansi bahkan merenggangkan hubungan emosional kepada para tokoh Ahlul-Bait apabila diungkapkan dengan diksi yang sangat dangkal dan ambigu.

Harus diakui, predikat ‘sayyid’ di kalangan komunitas Syiah di Indonesia telah menjadi beban determinan. Bagaimana tidak, sering kali kesalahan seseorang bisa ditimpakan atas sebuah predikat atau bahkan atas sebuah keluarga besar dan argumentum ad hominem kerap menjadi senjata yang sangat efektif. Bila itu terjadi, maka kesayyidan adalah bencana karena diperlakukan sebagai dosa bersama.

Tidak sedikit generasi alawi yang bermazhab Syiah di Indonesia yang cenderung membenci kodrat diri sendiri (baca: kesayyidan yang diperoleh secara determinan) demi menegaskan bahwa apabila sikap kritis alawi terhadap prilaku sesama alawi lebih menjamin kebersihan dari b ias atau tendensi negatif yang sangat kontra-produktif. Saya sendiri dan beberapa teman yang merasa sesak karena ‘ketiban’ kesayyidan, seperti Ali Shahab alias Ben Sohib, dan Umar Baragbah alias Muawiyah bin Abu Gozok telah memulai sebuah gerakan auto-kritik yang tidak kalah ‘pedas’ dibanding dengan orang-orang yang tidak ketiban beban ini.

Apabila kita jujur dan membuka hati kita selebar lapangan Senayan, maka kita semua –baik yang ketiban maupun yang tidak- mesti berkesimpulan bahwa kesyiahan meniscayakan kecintaan dan ketaatan kepada Nabi dan keluarganya serta penghormatan kepada anak keturunannya.

Lalu mengapa isu ini masih saja mencuat ke permukaan? Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah lragam atarbelakang orientasi keagamaan masyarakat Indonesia, termasuk tradisi dan pola interkasi terhadap kominitas alawi yang berimplikasi terhadap intensitas yang beragam menyangkut persoalan kesayyidan –sebelum mengenal mazhab Syiah- . Tradisi dan pola penghormatan, yang sebagian irasional, terhadap alawi di kalangan sunni trasdisional seperti NU, yang memiliki hubungan historis dan emosional dengan para pendakwah dari Yaman, sangat berbeda dengan pola perlakuan kaum pembaharuan, seperti Muhammadiyah dan lainnya. Dua latar belakang orientasi keagamaan yang berbeda ini –akibat proses konversi ke mazhab Syiah- bertemu dalam sebuah komunitas yang masih baru di indonesia. Terjadilah pergesekan kecil, dari sekadar lontaran-lontaran gurau hingga meletus menjadi isu paling kontraproduktif.

Komunitas Syiah di indonesia, yang masih baru dan terdiri dari dua latar belakang yang bersebarang ini, memang sedang berproses untuk menemukan jatidirinya yang baru, bukan ala NU yang tradisionalis dan bukan pula ala Muhammdiyah, bukan ala Iran yang berbeda dengan karakter indonesia, dan bukan pula ala Irak yang tidak mirip dengan identitas Indonesia.

Persoalan seputar taqlid, marja’iyah dan wilayah al-faqih juga tidak semestinya dijadikan sebagai alasan untuk berlomba mencari kata yang paling efektif untuk merawat kebencian dan menyuburkan rasa saling curiga. Menjadi alawi (sayyid biologis) bukanlah pilihan. Dan karena ia bukan pilihan, maka seseorang tidak layak dicemooh, didengki atau dijadikan sebagai alasan untuk sombong dan pongah. Sopir metromini yang ugal-ugalan tidak patut dicemooh karena kebatakannya, namun layak ditegur karena caranya mengemudi mobil. Ia tidak memilih menjadi sihombing atau Ginting. Demikian pula orang yang berkulit hitam atau bertubuh pendek, tidak layak dicemooh atau ditertawakan, karena itu bukanlah sesuatu yang diperoleh karena kerja keras atau prestasi. Bila seorang alawi (sayyid) melakukan perbuatan tercela, maka yang patut dicela bahkanb, bila perlu dihukum mati, karena perbuatannya, buka karena kesayyidannya.

Setiap alawi yang bermazhab Syiah pasti meyadari bahwa kesayyidan bukanlah alat dongkrak kesombongan, apalagi memang sejauh ini perlakuan istimewa itu tidak akan pernah didapat di tengah komunitas yang semi-NU dan mantan Muhammadiyah ini. Tapi, apabila ia bukan anugerah dan bintang jasa, setidaknya para non sayyid juga tidak menjadikannya sebagai jurus mematikan setiap kali terjadi polemik. Kasarnya, kalau bukan anugerah dan berkah, paling tidak, jangan jadi bencana.

Saya yakin, para sayyid yang menganut mazhab Ahlul-Bait adalah orang-orang yang telah rela untuk tidak mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana bisa dinikmatinya bila tetap Sunni, terutama bila hidup di sentra-sentra otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia. Kesyiahan mereka semestinya dilihat dengan positive thinking sebagai dekalarasi bahwa kesayyidan tanpa ketaatan kepada Nabi dan keluarganya adalah bumerang.

Setiap penganut mazhab Ahlul-Bait berpeluang untuk menjadi sayyid dan menjadi salman Farisi dan Muhammad bin Abu Bakr. Setiap orang yang memegang teguh tawalli dan tabarri adalah putra-putri Ali bin Abi Thalib.


Bila tulisan ini menyinggung dan mencederai perasaansiapapun, saya dari hati yang amat dalam memohon maaf sebesar-besarnya.

Advertisement

41 Responses to “Ke-sayyid-an, Berkah atau Beban?”

  1. putrakarbala Says:

    saya tidak dapat mewakili pembaca semua, minimal insy punya standart berpikir genah, dan bukan sebagai anjing penjilat karena saya tidak dapatkan apa2 dari antum kecuali pencerahan yang cukup berharga dari go blog antum.. bahwa tulisan antum ajieb, sawa’…he he he(emang dari dulu, dalam hati ustadz x yee.), tapi kaef ustadz dengan cintailah…..walau ka’na faasiqon..?

  2. Poin no.2 perlu ditambahkan: Demikian juga, komunitas non-Alawi bisa mempersiapkan panggung-panggung buat Alawi jika memang kesempatan memungkinkan atau malah harus dimungkinkan.
    Kita kangen adanya figur seperti seorang Syekh Abdul Karim Hairi atau pun Sayyid Ruhullah Musawi di Indonesia.

  3. Tulisan ini membawa saya kepada ingatan ketika awal mempelajari Ahlulbait sekitar tahun 1996-an, ketika saya sedang berkuliah semester IV. Ajib! Setelah mengenal Syi’ah (Indonesia), saya dihadapkan dengan perang dingin antar sayyid dan non-sayyid. Memang tak bisa dipungkiri, mungkin banyak orang yang merindukan figur Imam Khomeini di Indonesia. Akhirnya, pilihan dijatuhkan kepada sayyid yang ada di sini. Tapi apa lacur? Hanya sedikit sayyid–untuk tidak menyebut tidak atau belum ada (?)–yang memberikan contoh kehidupan seorang Alawi yang ideal like as Khomeini. Sepertinya, begini, saya melihat dan mendengar bahwa ada dua hal yang mungkin bisa menjadi atas kemacetan komunikasi antar Alawi dan non-Alawi:
    1. Adanya pembauran budaya antara kedua pihak, misalnya kedua pihak saling berlapang dada ketika di antara keturunan mereka saling menikahi, tentu dengan syarat kualitas ketakwaan yang memadai diperhatikan juga oleh masing2 pihak.
    2. Mengintensifkan muballig-muballig non-Alawi yang kompeten dalam hal pola kaderisasi karena tampaknya panggung dakwah–lihat misalnya Asyura yang tampaknya ‘didominasi’ (secara sengaja ataupun tidak) oleh Alawi–sehingga peran kedua-duanya dapat dirasakan oleh semua Syi’ah di Indonesia.
    Secara umum, tulisan otokritik dari Ust Labib ini saya apresiasi positif. Secara khusus, dua hal yang saya ajukan tadi barangkali bisa dijadikan masukan. Sebagai catatan, sebetulnya yang harus kita hormati tentu saja bukan semata-mata ia seorang sayyid atau non-alawi, tetapi kualitas dan teladan yang setiap mereka tampilkan. Saya mohon maaf bila dua masukan di atas menyinggung kedua pihak. Tidak ada maksud apa-apa selain ingin merindukan dua ras bersatu dalam segalanya. Tak perlu buru-buru. Semoga waktu memberi kecukupan. Peace! Keep our brotherhood in the sake of Imam Ali!

  4. MOSLEM GOTHE Says:

    Sejarah Sayyid dan Alawian sudah lama adanya dan hal ini tidak perlu dihilangkan atau kita pura2 tidak tahu. akan tetapi yang patut di garis bawahi adalah Prilaku yang tidak sesuai dengan Norma dalam proses hubungan bermasyarakat.

    Kita semua sama …dalam satu kesatuan yakni Putra SANG ADAM….

    Peran kaum Sayyid dan Alawi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di di beberapa belahan bumi Nusantara ini sangat mempunyai pengaruh kuat sejak Jaman sebelum terbentuknya NKRI( Negara Kesatuan Republik Indonesia)…hingga Jaman Orde Baru berakhir.

    Biarlah Sayyid / Alawi ini menyimpan Anugerah tersebut dalam hatinya tanpa harus dipamerkan, karena tanpa di pamerkan pun Cahaya Sayyid / Alawi akan tetap cemerlang bagi para Non Sayyid / Alawi…

  5. ke-sayid-an sebuah anugrah, sebuah takdir sebagaimana tuhan ciptakan laki dan wanita, takdir menempatkan laki lebih berpotensi dalam pencapaian kebaikan(arrijal qowamuna alan nisa) cintailah mereka kadung katakan secara biologis darahnya ada darah rasul, apakah ini bukan sebuah anugrah walau kaa na faasikon aw majnunan aw jaahilan, keberadaan silsilah ini sangat menentukan dan membedakan dengan manusia lainya!! kita menghormati mereka bukan karena dirinya tapi karena ada sesuatu yang melekat pada dirinya walaupun secara biologis.!!kita akan ciumi benda peninggalan nabi, bagaimana kemudian dengan darah keturunanya, kemudian jangan pamer dan busungkan dada bagi tiap sayid atas anugra besar ini, karena setiap kenikmatan membawa beban amanah besar, kepada sayid biologis cintailah sayid ideologis, kepada sayid ideologis hormatilah sayyid biologis, kepada sayid biologis sekaligus ideologis,,salam hormat kami rindukan belaian bimbingan moril intelektuil dibumi persada Indonesia kering krontang dari kewibawaan sebuah negara , birokrat penuhi pembusukan berlomba korupsi rakyat terlena atas nama simbol agama…saatnya sayid biologis ataupun ideologis tampil, indonesia bumi islam, bicara indonesia bicara islam.!

  6. Mantap uraiannya yaa ustad !

    Wilayah cinta tidak mengenal ikatan biologis.
    Ikatan biologis membantu untuk membuka jalan ke wilayah cinta dan meningkatkan intensitas kecintaan. Tapi bisa juga jadi penghalang karena jiwa ternoda oleh ujub dan kibir karena ikatan biologis.

  7. Saya pernah dinasehati seorang habib.
    Bila engkau bertemu dengan habib yang soleh cintailah karena Allah, namun bila bertemu dengan habib yang berahlak tidak baik lihatlah Rasulullah.

    Saya menyadari bagaimanapun ahlaqnya, dalam diri seorang sayid mengalir darah suci nabi saww.

    Mungkin bila khumus dijalankan tidak akan ada sayid yg suka meminta uang dari kalangan muhibbin.

  8. Ahlan wa sahlan…. kalau ane mah sekedar mau nyebarin kritik thdp yg anti Tahlilan, tawasulan, ratiban plus habiban….

    Salam kenal

    Wassalam wr wb

  9. Terkadang masalah utama kita, baik sayyid maupun non sayyid, adalah sulit meninggalkan pola budaya pra-Syiah. Kita hanya mengganti pakaian kita dengan jubah Wilayah Ahl Bayt, tapi hati kita sadar atau tidak masih terwarnai oleh noda lama. Hal ini sebenarnya wajar saja, karena kita dahulu dibesarkan di budaya Indonesia, yang mayoritas bercorak Nahdliyin atau Muhammadiyah. Masyarakat Syiah Indonesia hampir 90% lebih adalah generasi pertama, artinya menjadi Syiah bukan karena latar belakang keluarga tapi pencarian sendiri.
    Namun, hal yang wajar bukan berarti kebenaran. Kita terlalu lama berlaku zalim pada diri kita dan pada Imam Zaman AFS dengan tetap mempertahankan cara pandang pra-Syiah ini. Alih-alih menjadi penghias dan pembuka jalan beliau AS, kita malah menjadi bagian dari masalah.
    Ada baiknya kita merenungkan lagi dalam-dalam, apa sebenarnya arti menjadi Syiah?
    Apakah melakukan ritual2 Kumayl malam Jum’at itu esensi Syiah? Berdebat soal khilafah-kah? Menjamak Shalat? “Hadiah agama” bagi pelancong-kah? Apa sih sebenarnya Syiah-isme itu?
    Syiah artinya pengikut. Kita adalah pengikut Imam akhir zaman yang akan bangkit melenyapkan kezaliman di muka bumi setelah lama tenggelam dalam kegelapan. Kita adalah anak revolusi akhir zaman, pelayan dalam perwujudan kehendak Allah atas alam ini, hamba sahaya “baqiyatullah”, penggenapan janji Ilahi bagi Ibrahim AS, perwujudan rencana Allah dalam menjadikan Adam AS dan anak keturunannya.
    Ketika kita menjadi Syiah, sebenarnya Syiah, maka semua identitas pra-Syiah ini menjadi lebur, tak bermakna, tak relevan.
    Kehidupan dunia memang hanya permainan dan senda gurau, tapi menjadi Syiah benar-benar suatu yang serius, triple serius!!
    Wallahu’alam bisshawab.

  10. sudahlah jangan ber-terlalu-ria sama SYIAH, pentas syiah dibumi pertiwi terkontaminasi naifnya tdk sedikit dari pengikut syiah sendiri, katakan oknum, berapa standar kwantitas oknum?? hal apa..? cukup klasik tapi sll baru:mut’ah, akhlak, inklusif….pergelatan syiah baru seusia jagung dilihat dari terorganisirnya atau upaya terorganisirnya baik lewat lembaga pendidikan ataupun penerbitan, itupun belum menyentuh media. mari kita suarakan nilai-nilai universal, keluhuran, kejujuran, kepedulian, melawan kebodohan,anti korupsi,,,,kebenaran partikular redam menuju loncatan kebenaran universal. saatnya gerakan syiah indonesia menjadi hizbullah bagi libanon, syiah menjadi hizbullah bagi indonesia, menerima, mengayomi keanekaragaman, benteng pertahanan dari hegemoni kapitalis, penolong kaum dzuafa, terdepan dalam amal ma’ruf nahi munkar, luas dan kuat dalam keilmuan..

  11. Salam…!!!
    Sy kira persoalan “sayyid” atau “alawiy” bisa menjadi ‘sensitif’ bisa jg malah tidak perlu ‘disentuh’ sama sekali; tergantung interaksi kita dgn komunitas yg merespons. Sy sendiri mgkn ‘dicap’ sbg–meminjam istilah mas Muhsin Labib–“sayyid biologis” dan mgkn jg sbg “sayyid ideologis”. Namun, sy lbh suka mengabdikan diri sy utk persoalan-persoalan kemanusiaan universal tanpa hrs terbebani oleh atribut2 ideologi-keagamaan spt: Syi’ah vs Sunnah; sayyid vs non sayyid; Ahlul Bait vs Ahlul ‘Ummah’; dsb. Sy sendiri–di samping bekerja sbg pengajar di UIN Jkt, jg bekerja di perusahaan IT yg orang-orangnya bkn hanya ‘warna-warni’ dlm satu agama saja (NU, Muhammadiyah, dsb), tetapi bahkan lintas agama. Di perusahaan sy, ada penganut Hindu, Kristen, Protestan, dan tentu sj Islam.
    Dlm kaitannya dgn masalah “alawiyyin” di atas, sy hny ingin memberi sumbang saran agar kita yg kebetulan ‘ditakdirkan’ scr biologis dan mngkn scr ideologis sbg sayyid or alawiy, lbh mengarahkan pd hal-hal yg lbh visioner, futuristik, dan produktif. Kita jg lbh baik membangun tatanan masyarakat yg lbh inklusif tanpa terlalu sensitif pd hal-hal yg sebenarnya msk kategori “data sejarah” (contoh plg kongkret adlh soal Syi’ah vs Sunnah).
    Dlm konteks Islam keindonesiaan, mgp kita tdk membangun semacam “ideologi besar” yg mampu merangkul aliran besar dlm Islam. Katakanlah “Ideologi Mutasi” (sekedar mudah mengingat sbg kependekan dri Mu’tazilah-Ahlussunnah-Syi’ah), krn dlm pencermatan sy, ketiga ideologi inilah yg akan menjadi modal dasar membangun peradaban Islam masa depan yg lbh positif dan produktif. Apalagi sejarah telah membuktikan hal itu; ketiganya sama-sama memiliki kelebihan dan bisa saling menutupi kekurangan dari masing-masing.
    Salam…!!!

  12. good…writing..
    apalagi di tulis oleh sayyid yg tdk memunculkan sayyid.
    kalo di tulis oleh non mungkin akan salah persepsi….
    jadi masing2 intropeksi diri….

    ayo bekerja dan berkarya serta tunjukkan akhlak “ahlul bait”

  13. Ustad, tulisan antum ini adalah “cermin bersama.” Jika kita dapati ada wajah buruk di dalam cermin, jangan pecahkan cermin itu! Karena, pada masa sekarang ini, sulit mencari siapa yang jujur untuk menilai diri kita. Apalagi yang masih menyisakan kejujuran, selain, CERMIN.

  14. Salam Sayyid,

    Uraian antum cukup tegas dan bijaksana. Ana rasa tidak perlu ada yang merasa risih dengan tulisan seperti ini, bahkan seharusnya ia menjadi renungan bagi kita semua …

    *lupa sama komentar versi pertama* 😆

  15. sanggardewa Says:

    MUHTAROM……..

  16. Tarantula Girl Says:

    Mantap banget tulisannya.Seandainya semua Sayyid bisa berpikiran sama seperti Anda,tentu saja banyak anak yang tidak menjadi anak durhaka hanya karena disumpahi sama orang tua mereka karena ingin membebaskan diri dari ke-SAYYID-an mereka!MANTAP!!!

  17. syahabuddin ashghar ICAS Says:

    ahlan wasahlan wamarhaban…

    saya agak bingung ketika harus membicarakan hal ini,
    sensitif……………………….

    saya lahir , tinggal, dan hidup dikalangan itu
    tapi ada sekiranya satu dua hal yg agak nyumpel di hati. saya belajar ttg keluarga rasul sejak kecil. almarhum jaddiy, mengajarkan betapa luhurnya akhlaq ahlul bayt. tapi dalam pergaulan sehari2 knp mereka yg ditubuhnya mengalir darah sayyidina Ali malah jauh dari nilai2 suci kakeknya.??????????????
    yg saya dapati bahkan sebaliknya, ada entah banyak atau sedikit yang me ng umayyah kan diri nya untuk dikultuskan seolah mereka semi2 maksum.

    saya tidak tahu harus bersyukur atau menyesal, tapi sekiranya itu bisa jadi bumerang. maka untunglah saya yg hanya mendapat cipratan darah alawi dari pihak ibu.. innalillah……………………

    ML: bukan bumerang. Itu adalah karunia yang harus disyukuri dengan ketaatan berlipat. terimakasih atas commentnya.

  18. Ass. Ustadz Muhsin Labib, tulisan antum sangat benar. Tapi realita di komunitas Syiah ini masih banyak warganya yang belum menanggalkan secara kaffah norma/syariat pra-Syiah, baik itu Alawi maupun non-Alawi, baik sengaja maupun tidak sengaja.
    Tulisan Ustadz di atas, bagi saya, baru sebatas letupan awal. Kalau memang ingin menyudahi (meminimialisir) polemik, sudah seharusnya kalangan ustadz, baik dari Alawi maupun non-Alawi, secara ikhlas dan bersama mau menuliskan buku tentang norma/syariat yang seharusnya dijalankan Syi’i Alawi, sebaliknya bagaimana norma dan sikap yang dilakukan seorang Syi’i non-Alawi terhadap Syi’i Alawi.
    Mengapa ini penting? Karena ini bisa menyangkut bagaimana mencintai Rasul dan Ahlul Bait AS, yang harus dilakukan oleh mereka para Alawi dan non-Alawi. Dan saya kira referensi di kalangan ulama Syiah tentang hal Alawi itu cukup banyak.
    Semoga Allah SWT menghimpunkan kita kepada kepada Habibullah, Baginda Rasul SAW dan Keluargnya yang Suci AS. Wassalam.

  19. Seorang Sayyid yang sejati adalah seorang muslim yang mampu mempertahankan integritas wahyu yang pernah disampaikan kepada Muhammad. Seorang Sayyid atau Alawi juga adalah seorang muslim yang hatinya tidak pernah bisa untuk berpaling dari mencintai Muhammad dan Ahli Bait beliau serta umat beliau secara umum (termasuk sahabat-sahabatnya yang terpimpin).

    Isu Sunni-Syiah sudah saatnya diminimalisir, bagaimanapun, Islam adalah persaudaraan. Islam terbebas dari semua kekhususan yang dilekatkan pada dirinya.

    Saya mungkin satu diantara orang yang juga memperoleh status kesayyidan secara turun menurun merasa jenuh dengan semua perselisihan panjang diantara masing-masing kelompok.

    Kenapa kita tidak mulai segera saling perduli ?

  20. wahbabi Says:

    HUHUEHEHE….AJIB…HALUS….BIAR PADA MELEK MOTONE KABEH…NGA JADI “SAYYID DIATAS KERTAS” 🙂 🙂

  21. denjaka syiah Says:

    SETUJU dengan ustad ML,
    Toh Rasulullah pernah bersabda: “Bapak kaum muslimin ini adalah aku dan Ali.”
    Sayyidah Fatimah bersabda: “Ya Allah selamatkanlah, Keluargaku, anakku, keturunanku, kerabatku, pengikutku yang islam.”
    Jadi asal kita islam, maka kita adalah anak-anak Rasulullah.–>menurut Rasulullah
    Tetapi walaupun sayyid biologis tapi kalau tidak islam, maka bukan anak Rasulullah–> menurut sayyidah Fatimah.

    bahasa jawa mode: on
    “wes, pokoke awake dhewe mangan ora mangan sing penting islam.”
    bahasa jawa mode: off

    BTW, bagaimana sebaiknya kita mensupport kondisi saudara2 kita di Irak ini ustadz. Saya rasa kita perlu memberi dukungan moril kepada mereka perintis revolusi islam past 2 ini. Perlukah kita turun ke jalan melakukan demonstrasi.? (Mumpung SBY masih jadi presiden kita he he he, walaupun keijakan DN-nya krg populer, tp keliatannya kebijakan LN-nya sangat bagus). Saya rasa sudah saatnya umat muslim Indonesia syiah, sunni, wahabi maupun JIL, yg masih tiada Tuhan selain Allah dan tidak ada makhluk yang lebih agung daripada Rasulullah, bersatu menghadapi musuh islam ini zionism, amerika dan para pengikutnya.

  22. saya rasa ini adalah salah satu bentuk ujian bagi umat yang “mengaku” pencinta Ahlul bait.

  23. Assalamu alaikum

    Tanggapan untuk komentar saudara Zen, betul, buku tentang masalah kesayyidan ini dalam versi arab sudah ada, ditulis oleh Allammah Assayyid Adil Al-Alawi yang berdomisili di Qom-Iran, Buku itu berjudul “Al-Ma’muulu-fii-takriimi-zdurriyyati-Rrasuul”(المأمول فی تکریم ذریة الرسول), yang ditrenslet kebahasa Indonesia berbunyi : “Yang diharapkan dalam pemuliaan keturunan Rasulillah saww”. Jelas dengan membaca judulnya saja kita dapat memahami ada messeg suci yang semestinya ingin dicapai dalam pemuliaan keturunan Nabi besar Islam saww, kalau kita membedah buku tersebut tentunya kita akan memulai dari judulnya, yang meniscayakan akan menyerua’kan ma’na yang kaya misalnya dari kata (المأمول)/ yang diharapkan) sebagai satu target yang ingin dicapai, dengan bentuk kata maf’ul tampa menyebutkan pelaku dapat memberi kesan harapan itu diidam-idamkan oleh semua pihak secara umum dan dejure, baik bagi sang zduriat sendiri, non zduriat bahkan harapan sang Rasul saww, Ahlul-baitnya as dan Allah swt sekaligus, kalau ingin lebih jelas tentunya kita semua perlu membaca lebih jauh isi buku tersebut. Salawaat!!.

  24. ASS, tulisan yg bagus u di renungkan kembali, dan bg pr sayyid sekirahnya u perbedaan yg ada jangan saling mencerca dng yg lain krn banyak permusuhan .. Tolong Tolong Pererat Tali Persaudaraan yg ada. jangan ada saling memusuhi, keributan dan mengeluarkan Fatwa Sesat Sesama Muslim. Trimakasih Sukses Selalu

  25. HURAIRAH.AND.JERRY Says:

    Bos ! numpang lewat sambil nanya kalau Budaya kaum Alawy itu yang mana Ya ???

  26. salam.
    Sayyid bagi saya pribadi ialah anugrah, setidaknya menjadi identitas yang bisa menunjukkan keyakinan bahwa ada itrah nabi yang terpelihara hingga detik ini. Karena tak ada satupun nabi dari agama selain Islam yang masih memiliki keturunan hingga deti ini (kalau ada bisa beritahu saya kapan saja di billyadriangani.billy@yahoo.co.id) ini menunjukkan benar bahwa memang doa nabi Ibrahim kepada Allah SWT untuk dijaga anak keturunannya dikabulkan oleh Allah SWT, (Rasullah keturunan dari Nabi Ismail AS). jadi memang secara logka sejarah keberadaan mereka (para Sayyid) menjadi sesuatu yang wajib hukumnya terutam bagi saya pribadi untuk menghormati mereka, apalagi jika Sayyid itu sendiri menyadari keberadaan dirinya sebagai sayyid ideologis juga, itu tambah ajib bagi sayyid.
    jadi bagi para Sayyid jangan pernah berkecil hati, setiap manusia kecuali para nabi dan ahlul bait pasti tak luput dari kelemahan, justru dengan kelamahan itu kita dapat belajar untuk menjadi kuat.
    wassalam…

  27. dalam islam bukankah yang lebih mulya itu orang-orang yang muttaqien? jadi untuk apa meributkan atribut “sayyid atau bukan sayyid”? itu kontra produktif bagi dawah islam kedepan.

  28. Husain John Says:

    Ass…

    keif halkm y’ Ust??

    ana sangat tercerahkan sekali dgn tulisan antum dan ana sangat berharap sekali permasalahan ini di tuntaskan secara santun.
    ana jg sering diprotes sama non sayyid,koq kenapa para syarifah selalu dilarang untuk menikah dengan non sayyid,ana sudah mencoba menjelaskan sesuai kemampuan ana.
    yang jelas ana saat ini sangat berharap antum lebih banyak lagi memberikan masukkan buat ana.

    syukron katsir

  29. haqqi mohammadi Says:

    Menjadi non sayyid, berkah atau beban? Jika memang mencitai sayyid yang fasik adalah perintah, bagaimana dengan non sayyid yang fasik? Benarkah perintah itu? Jika benar, mohon penjelasannya sehubungan dengan konsep keadilan Tuhan.

    • wong ndeso Says:

      cintailah sesamamu, siapapun dia (sayyid atau non sayyid), karena awalnya semua adalah fitrah. jadi kalo sesamamu fasik, dng cintamu ajaklah kembali kepada fitrah. inilah aslinya Islam. afwan.

  30. haqqi mohammadi Says:

    Menjadi non sayyid, berkah atau beban? Jika memang mencintai sayyid yang fasik adalah perintah, bagaimana dengan non sayyid yang fasik? Pantaskah ia dicintai juga? Kalau tidak, kenapa? Benarkah perintah itu? Jika benar, mohon penjelasannya sehubungan dengan konsep keadilan Tuhan.

  31. istiqlal Says:

    walau bagaimanapun, kedudukan zhurriah (keturunan) rasul tetap memiliki hak untuk dihormati. kalau anda menemukannya ditempat yang salah maka kewajiban anda untuk meletakan di tempat yang benar….sebagai contoh, apabila kita menemukan sendal rosul saw di tempat sampah maka kita akan memindahkan dan membersihkannya kemudian kita tempatkan di tempat yang layak….dengan penuh kehormatan. Itu baru sendal milik rosul, bagaimana dengan zhuriat (keturunan) beliau?

  32. wahyu btm Says:

    ana masih ingat apa yang pernah antum katakan ketika kita berbincang santai, seorang sayyid jika baik akan dapat 2 point, demikian pula sebaliknya, berangkat dari sisi ini maka ana berpikiran bahwa ana yang bukan sayyid malah merasa mendapat keringanan beban, dengan “hanya” mengikuti Nabi saw dan keluarganya, sudah dapat keberuntungan,ana tak perlu ngiri dengan kesayyidan seseorang, bahkan sikap penghormatan ana kepada para sayyid terutama yang baik, menjadi alat bagi ana untuk menghancurkan kesombongan diri dan mengasah kecintaan terhadap Nabi saw dan keluaeganya.

  33. Rudy Habsyah Says:

    Patokan saya hanya Al Quran yang mengatakan Yang Paling Tinggi Derajatnya ada pada paling Taqwa.

  34. wah, asikkk…
    ‘sayyid’ kan berkah,
    nah sebab dan akbiat krn mendapat sayyid…
    hmmm
    Ya Alloh Ya Rohman Ya Rohim

  35. king of hinduan Says:

    menurut saya kesayyidan karunia/anugerah dr allah swt. mencintai serta menghormati para sayyid [al-qurba] adalah perintah dr allah, artikel ini mengaburkan pandangan al-quran dan syariat tentang kedudukan keturunan rasul saw, benar seorang sayid tidak boleh menyombongkan kesayidannya tapi sangat layak bangga atas anugerah kesayyidan yg dikaruniakan allah padanya.

  36. repot memang, menghadapi orang yang cemburu/iri. mau cinta ato benci itu hak setiap insan. mau bangga atau tidak itu juga hak setiap insan. mau ngawinkan anaknya dengan siapapun itu hak orang tua dan anaknya. semuanya sudah jelas. yang cemburu atau bangga akan mendapat balasannya di dunia atau akhirat. semoga Allah limpahkan kekayaan yang melimpah ruah kepada para sayyid. karena orang syi’i di Indonesia saya lihat sangat menghormati orang kaya. apalagi kalau yang kaya tersebut punya titel sayyid. membuatnya memiliki alasan untuk merapat. semoga Allah beri kita hidayah beserta dengan TaufiqNya. Sehingga kita menjadi Syi’i bukan sekedar untuk mengambil manfaat dari para Sayyid atau kawin dengan Syarifahnya, tapi berkorban untuk mereka sebagai bukti cinta kepada Nabi

  37. Rudy Habsyah Says:

    @ Mas Muqallid saya pribadi tidak perduli sama sayyid/ syarifah bagi saya tidak cemburu/iri, benci, cinta dll. sama mereka kalau mereka menganggap lebih tinggi derajatnya dari yang non sayyid silahkan dan kalau ada yang non sayyid memuja mereka silahkan krbesan beragama dijamin oleh piagam PBB dan UUD 45 psl 29. tapi kalau mereka dihadapan saya bilang mereka lebih tinggi derajatnya dari saya maka kemungkinan besar saya akan membantahnya.

    • Sepakat.! membantah adalah juga hak dari setiap insan. apalagi bantahan yang berkualitas, karena disertai dengan Ilmu dan Akhlaq. Sombong, bangga, merasa lebih tinggi, adalah sifat iblis. Semoga Allah karuniakan kita hidayah agar terhindar dari sifat tersebut dalam segala tingkatannya. Takwa adalah sifat yang kita harapkan melekat pada diri kita, dalam segala tingkatannya. semoga kita semua mampu beramal dan terhindar dari rayuan Iblis dengan segala tipu muslihatnya

  38. ana senang bngt berkunjung ke blog ini. banyak yg membutuhkan ilmu dari antum ustadz. harapan ana blog ini semakin naik rank nya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: